Kamis, 19 Juni 2008

PUISI

HAYATKU
Sri Maryati Khairunnisa

sahabatku
andai saja waktu
bisa kuputar
kembali, kuingin
mengulang
masa-masa kita
bersama dulu
terima kasih sahabatku
atas kebaikan yang
telah kau berikan dulu

natal 2008

Senin, 16 Juni 2008

KENANGAN ANAK-ANAK IMAGO 1982 s/d 1988

Baharuddin Saputra & Iskandar Zulkarnaen dalam lakon ' NYANYIAN ANGSA' DI tbsu Medan. 1986.
1982 Bersama Darwis Rifai Harahap ( kanan) & Adi Fala (dua dari kiri ) Latihan Alam ke Pusuk Buhit - sekitar 5 KM dari Pangururan, Pulau Samosir.
Inilah anak-anak Teater Imago generasi 80-an. Kiri-ke kanan, Ayub Badrin, Ahmad Mei Rizal Soetomo, Nirmansyah Daulay, Khairil Azwar, Junaidi, Anto Doang, Roy, yang tiga lagi luipa namanya. Tolong informasikan bila ada rekan se-generasi yang ingat.

Upacara akad nikah Darwis Rifai Harahap & Erlina Rosa. 9 April 1999. (foto: Baharuddin.S)

Jumat, 13 Juni 2008

NAZARA MENANG LOMBA CERPEN

Nazara, murid kelas 8 SMPN 2 Tapteng berhasil menyisihkan 11 penulis muda berbakat dari utusan Kab/kota se-Sumatera Utara di Gedung PBSI Medan . Dewan juri yang terdiri dari Hasan Albana, S. Ratman Surat dan Darwis Rifai Harahap, sepuh seni teater Medan yang masih mampu bertahan di usianya yang sudah senja ( 64 Thn ) , menyatakan Nazara dari Tapteng, adalah penulis berbakat, lewat cerpennya yang berjudul ' Berkat Guru Bk'. Ke tiga juri serempak memuji karya gadis kecil yang pendiam yang bernama Nazara, walau sebenarnya karya pelajar yang lain bagus-bagus semua. Namun karena hanya ada satu utusan yang akan ikut berlomba di tingkat nasional, pada tanggal 21 Juli 2008 mendatang di Bandung, Pak Rifai Harahap yakin, karya Nazara si gadis kecil asal Nias ini mampu mengangkat Sumut ke peringkat yang dapat dibaggakan nantinya. Begitu yakinnya Oppung D. Rifai Harahap dengan karya Nazara . (Erlina Rosa)

Rabu, 11 Juni 2008

PUISI

AHH
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

dibalik cakrawala
rembulan
bercumbu dengan
matahari

melukis sepi diranjang kabut
entah dimana gelisah
ditambatkan,
pendataran tak lagi
hijau seperti dulu


Bogor, 2008

Minggu, 08 Juni 2008

BIKIN FILM

AKU PUNYA TEMAN INGIN BIKIN FILM
oleh. rizal siregar
Aku punya teman yang punya keinginan membikin film. Yondik Tanto dan Taufiq HR Zen Alnezaf. Keduanya tetap bersemangat membikin film. Biar dana produksi belum terlihat jelas, namun semangat keduanya tak pernah pudar untuk berkarya lewat layar lebar, membuatku tertekun. Aku salut dengan semangat keduanya.
Yondik berniat membikin film bergenre horor yang kisahnya diambil dari peristiwa di Sumatera Utara. Taufik berencana membikin film tentang renungan agamais. Keduanya mengusung genre yang berbeda
Yondik berkeyakinan karyanya menjadi milik anak Medan (daerah) yang bisa menembus pasaran nasional. Taufik yang kini berdomisili di Bogor, memilih memproduksi film yang direncanakannya dengan gaya Jakarta. Aku tak berani lancang untuk mengungkapkan judul film yang rencanakan keduanya.
Aku juga sedih melihat semangat mereka yang terus berkobar. Sedih karena aku tak bisa membantu secara finansial. Aku belum mempunyai kapital yang bisa mewujudkan impian kedua temanku itu. Biar aku tak bisa membantu finansil, tapi aku selalu mendorong semangat keduanya untuk tetap meyakini apa yang diimpikan; membikin layar lebar. Dengan memberikan masukan dan doa tentunya.
Masuk akalkan impian Yondik dan Taufik, untuk “bermain-main” didunia perfilman yang “gelap gulita” itu? Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam membikin film. Gelap karena tak ada pegangan yang jelas dalam peredaraan yang kini masih dikuasai bioskop kelompok 21. Gelap karena pasca produsi harus dikerjakan di luar negeri, Thailand, Hongkong atau India.Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam merekrut karyawan film. Gelap karena ‘kekuasaan” perfilman masih dikuasi Jakarta.
Dalam kondisi sekarang ini, impian keduanya masih masuk akalku. Selama 18 tahun lebih bergelut dalam dunia perfilman, sebagai wartawan film, kondisi sekarang ini, disaat penonton rindu film nasional, impian Yondik dan Taufik bisa diwujudkan.
Nasib kedua sahabatku itu saja yang tak datang dari keluarga kapital yang mapan. Sutradara Rizal Mantovani dan Jose Purnomo ketika membikin film Jelangkung, juga masih bereksprimen dalam tema dan gaya bertutur. Beruntung Trans TV bersedia mengucurkan dana untuk gagasan kedua anak muda itu. Secara kwalitas gambar dan materi cerita, film Jelangkung, tak luar biasa. Bahkan tidak berkwalitas. Film Jelangkung menjadi luar biasa ketika diserbu remaja. Bisa jadi Rizal Mantovani dan Jose Purnomo muncul dengan kondisi yang tepat dan yang paling penting ada keberanian pemilik modal untuk mengusung gagasan kedua anak itu.
Begitu juga dengan sutradara Rudi Soedjarwo sebelum melambung dengan film Ada Apa Dengan Cinta Rudi menapaki perfilman nasional dengan tersok-seok. Anak putra mantan Kapolri ini memulai debutnya dengan film Bintang Jatuh, film Rudi Soedjarwo ini tak banyak dikenal masyarakat.Film Bintang Jatuh yang diproduksinya masih memanfaatkan video. Lewat film Bintang Jatuh itu Dian Sasrowardoyo mengawali karirnya dalam seni peran. Kondisi perbioskopan yang caruk marut dan penonton setia film nasional masih enggan datang ke bioskop, membuat Rudi Soedjarwo tak punya nyali untuk mencetaknya ke seluloid. Tapi Rudi kuekue dengan pendiriannya, filmnya pun diedarkannya sendiri dengan menyewa beberapa auditorium di Jakarta, kampus-kampus di santero Jawa. Filmnya dibawanya keliling sendiri
Setapak demi setapak perfilman nasional bangkit. Sampai tahun 2008 ini, perfilman nasional sudah berada di puncak, bulan Maret, April dan Mei, seluruh panggung bioskop Jakarta dikuasai film nasional. Inilah buah dari reformasi. Runtuhnya Orde Baru membikin kelompok bioskop kelompok 21 lebih toleran terhadap perfilman nasional.
Mulai dari konsep, peredaran dan pemilik modal atau produser perfilman nasional adalah orang-orang pemilik kapital yang kuat. Lihat saja dunia pertelevisian kita, pemiliknya adalah memiliki kapital yang kuat. Sakin kuatnya, bisa membeli beberapa Stasiun TV yang kembang-kempis. Akhirnya, sang pemilik kapital menguasai “permianan” dan menitip dananya kepada Rumah Produksi tertentu. Walhasil, pemilik modal yang tak kuat seperti H. Alfadin dengan Kadasih-nya, Darto Joned dengan Serumpun Bambu-nya, atau Ali Sahab pun terkubur dibantai kapital yang kuat. Di medio tahun 2008 ini, pertelevisian dikuasi hanya Rumah Produksi yang kuat; yang bisa dibayar setelah 10 atau 20 episode penayangan. Wajah sinetron yang ditayangkan di TV tak lain hanya menjual mimpi yang juah dari jangkauan masyarakat kebanyakan.
Sineas muda adalah para anak muda yang orang tuanya memiliki kapital. Seniman yang berasal dari Gelang Remaja, seperti Nasry Cheppy yang berasal dari Gelang Remaja Jakarta Barat, Anak Teater, seperti Imam Tantowi berasal dari Teater di Tegal, atau wartawan seperti Mardali Syarief dan beberapa sutradara senior lainnya terkubur oleh anak yang memiliki latar belakang kapital yang kuat. Beruntung, Deddy Mizwar berhasil “menjual” tokoh Naga Bonar-nya H. Asrul Sani, dalam film Naga Bonar Jadi 2. Jika tak ada film Naga Bonar Jadi 2 atau film Ayat Ayat Cinta garapannya Hanung Bramantyo maka wajah perfilman nasional akan dikuasi oleh hantu-hatu, cinta remaja atau komedi seks.
Ah, aku sudah gelantur jauh. Impian Yondik dan Taufik masih di atas kertas, masih dalam skenario. Tiap malam, selalu saja aku dan Bung Taufik membicarakan tentang rencana produksi filmnya itu. Sebuah film renungan. Tidak seperti film Mangaku Rasul. Aku katakan kepada Bung Taufik, dengan menyetir ucapakan Bung Karno; "Raihlah Apinya Islam, Jangan Ambil Debunya Islam". Banyak film yang mengambil debunya Islam, Taufik begitu berkobar ketika kukatan itu. Taufik masih yakin skenario yang ditulisnya sendiri akan disutradarainya sendiri itu bisa bicara banyak. Masih adakah pemilik kapital yang percaya dengan konsep Taufik, membikin film renungan tapi mempunyai nilai komersil?
Dari sekian banyak teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital yang kuat, hanya satu-dua orang yang merespon konsepnya Yondik Tanto dan Taufik. Banyak teman yang sudah memiliki kapital yang kuat lebih memilih berkawan dengan sesama pemilik kapital. Teman-teman yang dulu berkenalan karena sama menggeluti kerja seni di Kota Medan tak satu pun memberikan respon yang postif. Bung Taufik berulang mengirim SMS kepada teman yang sempat didaulat memengang pucuk pimpinan dikarirnya, namun SMS tak menjawab. Pun ketika Bung Taufik kebetulan berkumpul dengan teman-teman yang katanya ingin “menepung tawari” sang gubernur yang menang Pilkada itu, tak satupun merespon. Teman-teman yang semuanya berasal dari kota Medan, dan berkenalan karena sama-sama penggiat seni, hanyut dengan eforia kemenangan sang jagoan Pilkada. Takkan ada berada tembuak bersarang rendah.
Yondik terus bergairah dengan konsepnya membikin film tentang cerita horor yang “roh” ceritanya berasal dari Tapanuli itu. Secara teori produksi dan konsep visual film sudah penuh di benaknya. Aku tetap meyakinkannya, Insya Allah, akan ada yang memodalinya. Yondik dan Taufik sedang menunggu godot. Yondik menunggunya dari Taman Budaya Sumatera Utara, yang memang disana dia mangkal sebagai seniman dan pekerja seni. Sementara Taufik menunggu diantara doa-doa-nya di Cilebut, Bogor sembari melakukan loby-loby dengan teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital.

Pesing Koneng, 8Juni 2008


Kamis, 05 Juni 2008

PUISI

Rantau
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Entah dimana takdir sembunyi
dulu ada hasrat mencari
merantau dari detik kemenit
memanjat langit
menyelam keperut bumi
sekarang hasrat itupun
sembunyi diketik waktu,
bukan pasrah mencari
biarlah takdir datang mencari pasangannya…


Bogor, 2008

TENTANG AYUB BADRIN

YANG SELALU GELISAH
AYUB BADRIN dikenal sebagai seniman teater di Kota Medan. Aktor kelahiran Medan, 25 Maret 1966 ini mengenal seni peran sejak masih SMP, ketika ia direkrut dari ratusan pelajar Se-kota Medan untuk dilatih main drama oleh Taman Budaya Medan asuhan D Rivai Harahap tahun 1980. Ketika itu Ayub masih duduk dibangku SMP Kelas II di SMP Neg. 12 Medan.
Bakat seni anak bungsu dari 9 bersaudara ini tumbuh darah seni mengalir dari ayahnya A. Djoremi, seorang aktor ketoprak di zaman penjajahan Belanda. Bakat seni Ayub sudah tumbuh sejak masih kanak-kanak. Sebelum mendengar dongeng dari neneknya Ayub tidak akan bisa terlelap.
“Banyak dongeng yang menarik diceritakan nenek sebelum tidur. Indah sekali waktu itu. Ada cerita Asal Muasal Kera, 3 Pendekar Budiman, dan beberapa cerita yang menarik. Sekarang dongeng jarang didogengkan. Anak-anak sudah menjadikan TV menjadi orang tua kedua mereka. Cukup memperihatinkan,” kata Ayub dengan tarikan nafas panjang.
Setelah “dipoles” Darwis Rifai Harahap, cakrawala seni pun mulai terkuak pada sosok Ayub, apalagi sosok aktor murah senyum ini doyan ngobrol dengan para seniornya di Teater Imago maupun Teater Nasional Medan. Tak jarang Ayub pulang larut malam, bahkan pulang pagi untuk ngobrol kesenian dengan teman-teman teater di Taman Budaya Medan.
Bersama seniornya di Teater Nasional Medan, Ayub sering terlibat perbincangan "panas" tentang kesenian dengan seniornya. Seperti Yan Amarni Lubis, Burhan Volka, Kuntara DM, Buyung Bizard, Rusnani Lubis, Burhan Piliang, Varah Tampubolon, Buoy Hardjo dan tak ketinggalan guru yang membesarkan Ayub; D Rivai Harahap.
Ayub juga doyan menari. Untuk melatih “kelentikan” tanggannya, sempat berlenggak-lenggok di Study Tari Patria. Bahkan bersama Syarial F sempat membuat Kelompok Tari. Dikancah teater Ayub sempat membawakan reportoar Malas, karya Nano Riantiarno, garapan sutradara MY Teddy Witarta, Tok.Tik.Tok (Dibalik Palu Godam) Karya Ikranegara sutradara Burhan Piliang, Serikat Kaca Mata Hitam Karya Saini KM garapan sutradara Hafis Taadi Teater Que Medan, Jangan Katakan Aku Cantik Karya Yukio Mishima garapan Sutradara Buoy Hardjo.
Tahun 1990 Ayub hijrah ke Lombok Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di kota Mataram Ayub bergabung dengan seniman lokal. Bahkan Ayub sempat menjadi “api” dalam menggairahkan suasana teater di Kota Mataram bersama Teater Lho dan Bengkel Aktor Mataram (BAM). Terpilih sebagai pemain utama pada Naskah Matinya Demung Sandubaya Karya Max Arifin garapan sutradara Kongso Sukoco tampil dalam Temu Teater di Solo Tahun 1993. Kemudian juga dipercayakan menjadi peran utama antagonis dalam naskah Rampok, saduran Idris Pulungan dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Mataram (TBM) Lombok Barat.
Setelah empat tahun berada di Mataram, Ayub tahun 1994 kembali berkiprah di Medan. Motivasi Ayub “pulang kampung” karena ibunya meninggal dunia. Setelah pulang Ayub tak kembali lagi ke Mataram untuk berkesenian. Ayub pun “berlabuh” kembali di Taman Budaya Sumatera Utara. Selain menjadi aktor, Ayub menggeluti dunia jurnalistik selain menjadi penulis lepas di berbagai media cetak di Medan.
Banyak Cerpen, Cerita Anak, Dongeng, artikel budaya, profil seniman dan lain-lain yang ditulisnya di koran seperti, Analisa , Waspada, Bali Post, Riau Post dan Majalah Malaysia Pesona. Kini Ayub juga menulis puisi. “Membikin puisi aku pikir pekerjaan paling sulit,” kata Ayub. Dalam kreatifitas kesenian Ayub selalu gelisah.

Rabu, 04 Juni 2008

ADEXINAL DAN AYUB BADRIN NASI BUNGKUS PUN JADI


Semangat berteater pada diri Bahar Adexinal dan Ayub Badrin ditahun 80-an cukup berkobar. Sebelum latihan, di sebuah pojok Taman Budaya Sumatera Utara keduanya kenyangkan tembolok dulu. Setidak-tidaknya waktu berlatih tak gemetar.

FOTO KENANGAN ANAK IMAGO DENGAN BUOY HARDJO


Tiga Anak Teater Imago Medan, Ayub Badrin, Bahar Adexinal dan Irma Karyono punya kenangan terindah dengan senior mereka dari Teater Nasional Medan yakni Alm. Buoy Hardjo. Ketika itu api berteater masih bergelora pada ketiga anak muda dari Teater Imago itu. Malam itu mereka sengaja nginap di rumah Buoy Haardjo (tidur sebelah kiri), saat itu senior dan junior sedang menyusun proposal. Coba tebak saja kira-kira tahunnya, karena menuangkan proposal masih menggunakan mesin tik.

Selasa, 03 Juni 2008

FOTO KENANGAN PEMENTASAN MALAS


Anak-anak Teater Imago berfoto beberapa menit sebelum pementasan repotoar Malas Karya N. Riantiarno di Auditorium Taman Budaya Sumatera Utara. Mereka adalah Ayub Badrin, Bahar Adexinal, Syahrial, Teddy Witarta (M.Yamin), Sofie Saca dan lain-lain.

AYUB BERFOTO DENGAN TEMAN TEATER MEDAN


Ayub punya kenangan main Teater di kota Mataram, Nusa Tengara Barat. Waktu itu Ayub bertemu dengan anak-anak Teater Medan. Ayub dua tahun berada di ujung Timur Indonesia itu. Waktu itu Ayub yang menjadi kontingen NTB bertemu dengan anak-anak Teater kontingen Sumatera Utar, seperti D. Rifai Harahap, Yan Amarni Lubis, Yondik Tanto dan Rizal Siregar (waktu itu masih wartawan Majalah Film Jakarta). Foto yang lagi belagak di belakang adalah Ayub Badrin dan Yan Amarni Lubis ketika di SOLO dalam acara Pertemuan Teater Solo 1993. Saat itu Ayub Badrin bersama anak Teater Bengkel Aktor Mataram, NTB.

AYUB MENIKAH DIAPIT DUA TOKOH TEATER MEDAN


Foto Ayub Badrin saat menikah, bersama tokoh teater Kartupat Medan, Alm. Raswin Hasibuan dan Alm. Aida Mahmun.

PUISI

Buta Tak Buta
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Ikan tak tahu Air
Harimau tak tahu Tanah
Rajawali tak tahu Angin
segala Wujud yang tahu
Api bersembunyi di dalam Air,
Tanah dan Angin

Bogor, 2008

Senin, 02 Juni 2008

GELI KALI AH...

Asal Muasal Break Dance

Oleh: Dahri Uhum
Diceritakan ulang: rizal siregar

Suatu hari disaat ngumpul di Teater Terbuka Taman Budaya Medan
Dahari Uhum berkata, “Tahukan kalian tentag asal muasal Break Dance?”
Anak-anak teater menggelengkan kepalanya, seraya berkata;
“Tak tahu bang…!”
Bang Dahri berkara, sembari tertawa,
“Break Dance, itu berasal dari Sumatera Barat”
“Bagaimana bisa bang? Itukan tarian anak muda di Amerika,” kata anak teater
“Inilah kalian bodoh kali. Mau kali dibodoh-bodohi orang Amerika. Tarian itu
berasal dari Sumatera Barat! Inilah kalian tak tahu tentang budaya nusantara!”
Semua anak teater yang sedang ngumpul saling pandang.

Dengan mata melotot Bang Dahri berkata:
“Waktu berak di sungai, urang awak itu berjejer. Karena menghindari beraknya sendiri, ia berkata, ‘berak den! Berak den! Awas berak den...!”
Semua anak teater semakin penasaran.
“Saat urak awak itu berak bergoyang-goyang menghidari kotoran, sempat dilihat seniman tari

yang lalu mendapat inspiarsi membuat tarian berak den! Sampai ke Amerika menjadi break dance!” kata Bang Dahari dengan gelak.
Anak-anak teater pun jadi tertawa terbahak-bahak.

PUISI

Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Gelugu

Dukacita bumi
dukacita dirampok
sepi berabad lalu
jutaan airmata
bukan embun
pedataran waktu
apalagi yang bisa
dicopet dari laut
sedang perahu
sekarat ditikam matahari

Topeng

Badut-badut
bicara dosa-pahala
bicara surga
neraka bicara
untung rugi
mereka tak bicara
kekasih yang terkasih,
mereka hisap madat,
memuja diri
mencari kesucian

Purdah

Selamat datang
derita anak negeri,
ceritamu patahkan
tiang kelambu langit,
usaikan tangismu,
jangan biarkan mata
menyipit kelu,
menanggung sisa
nafas untuk esok

Bogor, 2008

Kamis, 29 Mei 2008

PUISI

Rekontruksi Cinta Yanti
Puisi Ayub Badrin

Beribu-ribu mahluk menidurimu
Hingga kau hamil
Anakmu adalah televisi
Yang menyiarkan sinetron cinta murahan

Aku tak mau lagi memeluk gelombang laut itu
Sebab menyeretku pada dusta yang teramat palsu

Di kain jarik darah lengket
Rekontruksi cintamu Yanti

Masihkah televisi menyimpan aku
Seperti ikan dalam kulkas
Setiap pembunuhan dianggap sah?

Ini memang negri para pembunuh!

Lihatlah anakmu itu
Kini berwajah televisi
Dimatanya menyiarkan iklan dan
Mimpi-mimpi bersama Doraemon

Siapa berperan dirimu itu?
Merekontruksi pembunuhan aku

Tapi aku belum mati
Aku akan kembali bersujud sambil mengeja
Alif, ba, ta, sya, zim, ha, ho, dal...
Meski lidahku kelu

Simpang Limun, 3 September 2007

Rekontruksi Kamar Mandi
Puisi: Ayub Badrin

Suatu hari aku mengantuk
Uaaaahhhhhhh
Bau mulutku menidurkanmu
Lalu aku masuk ke ruang hampa dalam tidurmu
Kutemukan kau manggut-manggut
Berabat-abat lamanya
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Terus sampai lumut menutupi gigimu
Dikamar mandi sabun habis

Medan , 1 September 2007


Pembunuhan Di Kamar Tidur
Puisi: Ayub Badrin

Tiba-tiba kau datang dengan pisau
Membawa kenangan hujan
Lalu menikam diriku bertubi-tubi
Aku terkapar di lantai hatimu
Mengerang kesakitan
Perihku perih pisau
Lukaku luka sembilu

Mengapa berabad lamanya
Aku tersiksa oleh cinta

Di kamar tidur
Di sebelahku istri dan anak-anakku
Yang suka tidur sampai siang
Ini cinta milik siapa sebenarnya?
Mengapa tak jua bersumpah
(Sementara hujan turun masih karena cinta)

Tak usahlah dihapus darah itu
Biar saja mengering
Agar pernah ada kamu
Meski tak mudah jua

Medan, 2 September 2007

Rekontruksi Cinta Yanti
Puisi: Ayub Badrin

Beribu-ribu mahluk menidurimu
Hingga kau hamil
Anakmu adalah televisi
Yang menyiarkan sinetron cinta murahan

Aku tak mau lagi memeluk gelombang laut itu
Sebab menyeretku pada dusta yang teramat palsu

Di kain jarik darah lengket
Rekontruksi cintamu Yanti

Masihkah televisi menyimpan aku
Seperti ikan dalam kulkas
Setiap pembunuhan dianggap sah?

Ini memang negri para pembunuh!

Lihatlah anakmu itu
Kini berwajah televisi
Dimatanya menyiarkan iklan dan
Mimpi-mimpi bersama Doraemon

Siapa berperan dirimu itu?
Merekontruksi pembunuhan aku

Tapi aku belum mati
Aku akan kembali bersujud sambil mengeja
Alif, ba, ta, sya, zim, ha, ho, dal
Meski lidahku kelu

Simpang Limun, 3 September 2007

PUISI

AYUB JADI PENYAIR

Kukenal Ayub bukan penyair
kukenal Ayub sebagai sahabat
bila Ayub jadi penyair;
dia sudah pandai merangkai kata sejuta makna

Ayub jadi penyair
tapi aku tak bisa menuangkan kata dalam juta makna
apakah semua persitiwa kehidupan
mesti dituangkan dalam puisi?

Ah, aku pernah menulis puisi
membacanya berulang-ulang
itu pun tak becus
itu sebabnya aku tak mau jadi penyair
katanya; penyair dekat dengan setan

Ayub jadi penyair
dia memasuki dunia kata
bermain-main dengan kata
atau telah bercinta dengan kata?
tapi Yub, jangan tuankan kata
kata adalah kata, dia tak berkata-kata

Ayub jadi penyair
teman-teman yang membikin antologi
sudah jadi penyair Yub
mereka penyair dunia Yub

Ayub jadi penyair
tuliskan puisi yang membikin sejuk
atau tuangkan dengan kata; keagungan Tuhan
biar kata bisa menembus
ruang dan waktu
jadikan renungan dan bukan impian

Ayub jadi penyair
aku bukan penyair



Jakarta Barat, 28 Mei 2008

rizal siregar

PUISI

Rekontruksi Kamar Mandi
Puisi: Ayub Badrin

Suatu hari aku mengantuk
Uaaaahhhhhhh
Bau mulutku menidurkanmu
Lalu aku masuk ke ruang hampa dalam tidurmu
Kutemukan kau manggut-manggut
Berabat-abat lamanya
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Terus sampai lumut menutupi gigimu
Dikamar mandi sabun habis


Medan , 1 September 2007

Rabu, 28 Mei 2008

Surat Budaya Untuk Dahri Uhum Dan Abdiallah



Oleh. Darwis Rifai Harahap

SAHABATKU, aku baca di suratkabar tentang anda yang tak jadi menunaikan rukun Islam ke lima dari seorang teman, dikarenakan sebelum waktu keberangkatan, tiba-tiba anda dijemput oleh petugas, untuk ‘disekolahkan’ beberapa tahun. Dahri Uhum Nasution, seniman dan juga wartawan dan Pemimpin Redaksi dan Penjab di salah satu surat kabar oleh pengadilan telah diputuskan harus menjalani dan harus rela untuk tidak berangkat ke tanah suci (semua ini taqdir yang datang dari Allah ) dikarenakan berita “korupsi”. Kini, sohib yang bernama Dahri Uhum Nasution itu, untuk kedua kalinya menimba dan belajar dari balik jeruji besi.
Pengalaman pertama Dahri mendekam di tahanan, sewaktu dia masih remaja, sekitar tahun 70-an, bersama empat orang muda dari Teater Nasional Medan.Dia ditangkap dikarenakan berani demonstrasi menentang kebijakan Pemerintah Orde Baru waktu itu. Walau cuma sebulan ditahan, pengalaman berada di balik jeruji selama sebulan itu, membuat Dahri tabah dan sabar menerima semua cobaan yang kini tengah dihadapinya. Dahri Uhum Nasution ‘disekolahkan’ karena keberaniannya mengungkapkan tentang adanya ‘korupsi’ di negeri ini.
Dan, kasus ini juga yang menggelindingkan seorang rekan yang dulu pernah bermain bersama Dahri Uhum Nasution sebagai seorang Letnan Knil dalam lakon ‘Jiwa Tanah Air’ adaptasi Djohan Nasution dari naskah Monserat. Teman kita itu adalah orang nomor satu Medan, Bang Abdillah. Beliau kini juga sedang ditahan dikarenakan sebagai ‘tersangka’ korupsi mark up mobil pemadam kebakaran.Dahri disekolahkan karena memberitakan adanya ‘korupsi’. Bang Abdillah sebagai tersangka.
Tersangka belum final. Hanya pengadilan nanti yang dapat membuktikan. Pertanyaannya: apa sebenarnya yang menarik dari dua kasus yang tengah berlangsung terhadap diri sohib Dahri Uhum Nasution dan Bang Abdillah yang mengundang banyak simpati dari warga Medan agar beliau jangan ditahan di Jakarta?
Hal ini tidak lain karena warga Medan masih sangat membutuhkan Drs. Abdillah sebagai pemimpin di Kota Medan. Walau beliau di Jakarta, ternyata dari seorang teman yang berhasil menjenguknya di ruang Polda Jakarta, kunjungan simpatisan ternyata tak pernah sepi. Beda dengan sohib Dahri Uhum Nasution, selama beliau di asrama, baru beberapa teman yang datang menjenguknya. Tapi buat Dahri, selama di asrama menjadi kesempatan buatnya untuk memelihara kumis dan janggutnya yang semua telah memutih.
Orang yang berhasil untuk mengantarkan Dahri ke tempatnya yang sekarang, boleh tertawa gembira karena dia telah berhasil memenangkan perkaranya. Soal ada atau tidaknya korupsi, hanya Allah yang maha tahu. Mengenai adanya ‘mark up’? Tuhan tahu dan kita semua tahu itu ada. Kenapa harus ada mark up? Siapa-siapa saja sebenarnya yang ikut menanda tangani tanda setuju adanya mark up? Barangkali inilah kasus yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sebelum Drs. Abdillah menjadi walikota, mark up juga sudah ada. Ingat kasus Laptop? Dan banyak lagi kasus-kasus lain di negeri ini yang sulit untuk membuktikan apakah benar seseorang itu korupsi. Sekali lagi, hanya Tuhan yang Maha tahu. Tak satupun dari kita yang mempercayai adanya hari pemeriksaan dapat menghindar dan berbohong di pengadilan akhirat. Hidup ini ternyata sangat singkat sekali.
Tiga puluh lima tahun silam, saat Abdillah, Burhan Piliang (alm) Buoy Hardjo (alm), Buyung Bizart, Paul, Yusuf, Adnin(alm), Buyung Sabren(alm), Mariam, Dahri Uhum, Yan Amarni Lubis dan yang lainnya lagi serius-serius berlatih teater di Taman Budaya Medan, kini telah sirna bagai ditelan waktu yang terus berputar mengitari diri.
Saudaraku Dahri, aku kini sedang melihat album kenangan tentang kalian di kamarku yang sumpek. Aku memutar film delapan mili yang di dalamnya bermain pemuda Abdillah dan Ana Damanik, dan Abdul Aziz yang kini kabarnya menjadi pengacara di Bandung. Aku masih mebuat film-film eksprimen dan melatih teater di Taman Budaya. Aku masih menulis dan menulis. Sebenarnya aku sangat ingin mengunjungi kalian di ‘dunia’ yang mungkin terasa sempit dan sunyi. Tapi aku percaya, sebagai orang yang penuh dengan iman, kesunyian tak akan pernah menghantui kalian. Yang emas itu akan tetap emas walau ia dicampakkan ke dalam pelimbahan yang berlumpur hitam. Kita hanyalah manusia biasa.
Ada sohib yang diangkat Tuhan derajatnya selama hidup di dunia. Dan, ada yang dihinakannya. Ada yang rejekinya berlimpah ruah, Tidak hanya rejeki, tapi jabatan, pangkat, kehinaan, kemiskinan, ada didepan kita. Sahabatku Dahri, aku sangat percaya dan percaya sekali, walau teman-teman yang datang menjengukmu tidak semeriah orang yang datang menjenguk Drs. Abdillah, aku percaya, sekarang ini kau sudah semakin dekat dengan Allah walau kau tidak dapat berangkat menuanaikan rukun Islam yang kelima itu.
Percayalah. Ada rahasia yang hanya Allah yang tahu kenapa semua ini harus kalian hadapi. Aku juga juga ingin ke Jakarta untuk melihat adikku yang bernama Abdillah itu. Tapi yang pasti, aku sekarang ini masih tetap seperti yang dulu, 35 tahun silam, seorang pelatih teater di Taman Budaya Medan,Barangkali, aku sudahi saja surat budaya ini. Seberapa panjangpun aku menulis, kau dan Abdillah tak mungkin membacanya di tempat yang jauh sana. Tapi aku percaya, kalian berdua semakin mengerti dan paham, betapa singkat dan sempitnya dunia ini.

Darwis Rifai Harahap
Pendiri Teater Imago Medan Sutradara dan Penulis