Kamis, 05 Juni 2008

TENTANG AYUB BADRIN

YANG SELALU GELISAH
AYUB BADRIN dikenal sebagai seniman teater di Kota Medan. Aktor kelahiran Medan, 25 Maret 1966 ini mengenal seni peran sejak masih SMP, ketika ia direkrut dari ratusan pelajar Se-kota Medan untuk dilatih main drama oleh Taman Budaya Medan asuhan D Rivai Harahap tahun 1980. Ketika itu Ayub masih duduk dibangku SMP Kelas II di SMP Neg. 12 Medan.
Bakat seni anak bungsu dari 9 bersaudara ini tumbuh darah seni mengalir dari ayahnya A. Djoremi, seorang aktor ketoprak di zaman penjajahan Belanda. Bakat seni Ayub sudah tumbuh sejak masih kanak-kanak. Sebelum mendengar dongeng dari neneknya Ayub tidak akan bisa terlelap.
“Banyak dongeng yang menarik diceritakan nenek sebelum tidur. Indah sekali waktu itu. Ada cerita Asal Muasal Kera, 3 Pendekar Budiman, dan beberapa cerita yang menarik. Sekarang dongeng jarang didogengkan. Anak-anak sudah menjadikan TV menjadi orang tua kedua mereka. Cukup memperihatinkan,” kata Ayub dengan tarikan nafas panjang.
Setelah “dipoles” Darwis Rifai Harahap, cakrawala seni pun mulai terkuak pada sosok Ayub, apalagi sosok aktor murah senyum ini doyan ngobrol dengan para seniornya di Teater Imago maupun Teater Nasional Medan. Tak jarang Ayub pulang larut malam, bahkan pulang pagi untuk ngobrol kesenian dengan teman-teman teater di Taman Budaya Medan.
Bersama seniornya di Teater Nasional Medan, Ayub sering terlibat perbincangan "panas" tentang kesenian dengan seniornya. Seperti Yan Amarni Lubis, Burhan Volka, Kuntara DM, Buyung Bizard, Rusnani Lubis, Burhan Piliang, Varah Tampubolon, Buoy Hardjo dan tak ketinggalan guru yang membesarkan Ayub; D Rivai Harahap.
Ayub juga doyan menari. Untuk melatih “kelentikan” tanggannya, sempat berlenggak-lenggok di Study Tari Patria. Bahkan bersama Syarial F sempat membuat Kelompok Tari. Dikancah teater Ayub sempat membawakan reportoar Malas, karya Nano Riantiarno, garapan sutradara MY Teddy Witarta, Tok.Tik.Tok (Dibalik Palu Godam) Karya Ikranegara sutradara Burhan Piliang, Serikat Kaca Mata Hitam Karya Saini KM garapan sutradara Hafis Taadi Teater Que Medan, Jangan Katakan Aku Cantik Karya Yukio Mishima garapan Sutradara Buoy Hardjo.
Tahun 1990 Ayub hijrah ke Lombok Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di kota Mataram Ayub bergabung dengan seniman lokal. Bahkan Ayub sempat menjadi “api” dalam menggairahkan suasana teater di Kota Mataram bersama Teater Lho dan Bengkel Aktor Mataram (BAM). Terpilih sebagai pemain utama pada Naskah Matinya Demung Sandubaya Karya Max Arifin garapan sutradara Kongso Sukoco tampil dalam Temu Teater di Solo Tahun 1993. Kemudian juga dipercayakan menjadi peran utama antagonis dalam naskah Rampok, saduran Idris Pulungan dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Mataram (TBM) Lombok Barat.
Setelah empat tahun berada di Mataram, Ayub tahun 1994 kembali berkiprah di Medan. Motivasi Ayub “pulang kampung” karena ibunya meninggal dunia. Setelah pulang Ayub tak kembali lagi ke Mataram untuk berkesenian. Ayub pun “berlabuh” kembali di Taman Budaya Sumatera Utara. Selain menjadi aktor, Ayub menggeluti dunia jurnalistik selain menjadi penulis lepas di berbagai media cetak di Medan.
Banyak Cerpen, Cerita Anak, Dongeng, artikel budaya, profil seniman dan lain-lain yang ditulisnya di koran seperti, Analisa , Waspada, Bali Post, Riau Post dan Majalah Malaysia Pesona. Kini Ayub juga menulis puisi. “Membikin puisi aku pikir pekerjaan paling sulit,” kata Ayub. Dalam kreatifitas kesenian Ayub selalu gelisah.

Tidak ada komentar: