Selasa, 29 Maret 2011

opera batak

THOMSON HS MENCARI PASAR

Tilhang memang telah lama tiada. Namun warisannya berupa seni pertunjukan yang ia lakoni selama bertahun-tahun dalam membawakan cerita-cerita sedih dan gembira tetap berlanjut sampai kini.

Marsius Sihotang, yang telag melanglang buana kebanyak negeri seperti Amerika, Eropah. Jepang dan Australia, tidak membuat opera Batak bertahan sebagai seni pertunjukan yang diminati banyak orang. Opera Batak, seperti halnya sandiwara Keliling, Teater Modern, tetap tidak mampu meyakini penontonnya untuk datang memenuhi gedung perytunjukan yang ada.

Nama Thomson HS sebagai penggiat seni warisan Tilhang Gultom itu mementaskan cerita Si Johana di Gedung Utama Taman Budaya Medan beberapa waktu lalu di bulan Maret 2011. Tontonan yang di Sutradarai Thomson HS menggelitik dan menghibur. Lumayan sebagai tontonan, walau Baharuddin Saputra banyak yang tak paham dialog yang disampaikan karena mempergunakan bahasa Batak, Simalungun dan Karo.

Tapi pertunjukan itu bagus, ujar Bahar.

Rabu, 09 Maret 2011

OMONG - OMONG SASTRA DI BINJAI


Tanggal 6 (minggu ) Maret 2011 lalu, omong-omong sastra berlanjut dikediaman Saifuddin Lubis yang guru dan juga sastrawan. Sebelumnya, di bulan Februari minggu pertama acara serupa berlangsung di sastrawan Idris Siregar yang juga pegawai negeri.

Hadir dalam kesempatan OOS di rumah Saifuddin Lubis sastrawan Sulaiman Sambas, Damiri Mahmud, Norman Tamin, Datuk Ali Yusron dan D.Rivai Harahap.

Tampil menyampaikan makalah Yulhasni dan Wahyu Wiji Astuti berjudul Komunitas satra di Sumut dan Jejak Puisi Kontemporer
di Batin Penulis Muda Sumut.

Acara OOS di ulan berikutnya acara yang sama direncanakan ke rumah salah seorang mahasiswa yang hadir, di kawasan ps 2 Kec. Sei Rotan.

Sabtu, 05 Maret 2011

DUA TEMAN





DAMIRI MAHMUD DAN A. RAHIM QAHHAR ADALAH DUA TEMAN DARWIS RIFAI HARAHAP DI SMA. WIDIYASANA JALAN GB. YOSWA MEDAN TAHUN 1962 S/D 1963. DAMIRI SEJAK DIBANGKU SEKOLAH SUDAH AKTIF MENULIS PUISI YANG IA JILID SENDIRI. A. RAHIM QAHHAR SUDAH MENULIS CERPEN. BEBERAPA CERPENNYA SEMASA SEKOLAH DIMUAT DI MINGGUAN MIMBAR UMUM MEDAN. SEMENTARA DARWIS AKTIF BERMAIN TEATER DAN PENATA ARTISTIK DI SEKOLAH.

KINI KE TIGANYA TELAH BERUSIA 60 TAHUN LEBIH. TERKADANG KE TIGA TEMAN SEKELAS INI MASIH SERING BERTEMU DI TAMAN BUDAYA MEDAN. MEREKA BERTIGA ADALAH ORANG YANG BENAR-BENAR SETIA DENGAN DUNIA SENI YANG DIGELUTINYA.

MEREKA TELAH TIADA

Aldian Aripin, penyair Sumatera Utara telah menghadap Khaliknya di bulan Oktober 2010. Beberaqpa bulan kemudian selang beberapa minggu, menyusul Ben M.Pasaribu, seniman musik dan dosen di Unimed Medan. Ben menghadap Tuhan di usia muda. Beberapa minggu kemudian, di bulan Januari 2011, sahabat Aldian Aripin, Z. Pangaduan Lubis menyusulnya. ZPL juga menderita serangan strok seperti Aldian. Barani Nasution masih sempat mengantarkan zenazah Z.Pangaduan Lubis ke tempat peristrahatan terkahirnya di tanah wakaf Gang Sado Medan Perjuangan. Esoknya Barani berangkat ke Jakarta menemui anak-anak dan cucunya....Takdir berkehendak lain, Barani Nasution dipanggil Khaliknya di usia 69 tahun. Berselang beberapa hari, Antilan Purba pula yang di panggil Allah. Ia berjuang melawan sakit kanker yang dideritanya hampir dua tahun. Antilan telah menyusul saudara-suadaranya...Moga Allah memberi mereka tempat layak di sisiNya. Amin.

mereka telah tiada

Oktober 2010 Penyair Aldian Aripin berpulang. Menyusul Ben.M.Pasaribu, dosen musik di Unimed Medan. Januari 2011, seniman Zainuddin Pangaduan Lubis menyusul di usia 74 tahun. ZPL juga seperti Aldian Aripin, diusia 70 strok mengakrapi mereka. Barani Nasution masih sempat mengantarkan Z.Pangaduan Lubis ke tempat peristrahatannya yang terakhir. Esoknya Barani Nasution berangkat ke Jakarta mengunjungi anak-anak dan cucu-cucunya. Ternyata Allah menentukan lain. Rekan kita ini meninggal dunia karena serangan jantung yg tiba-tiba. Innalillah...Ternyata semua sahabat harus menyelesaikan kontraknya di dunia yg fana ini. Februari 2011, menyusul Antilan Purba, dosen bahasa san sastra di Unimed, tapi ia juga seorang penyair dan penulis yg produktip, sakit kanker yg ia derita sejak dua tahun lalu, menyebabkan kepergiannya...Moga kalian semua mendapat tempat yg layak di sisiNya. Amin.

Aldian Aripin menghadap Khaliknya oktober 2010 - januari, februari 2011 Ben.M.Pasaribu Z.Pangaduan Lubis, Barani Nasution, dan Antilan Purba menyusulnya.

MEREKA TELAH TIADA


Selasa, 01 Maret 2011


MENGENANG

BARANI NASUTION YANG WAFAT 16 FEBRUARI 2011 LALU DI JAKARTA

Oleh : Darwis Rifai Harahap

Hape di saku celana penulis berdering. SMS dari Baharuddin Saputra yang mengabarkan tentang Barani Nasution, tokoh teater Sumatera Utara yang berusia 69 tahun telah di panggil Khaliknya di Jakarta, Rabu jam 4 pagi di bilangan Cikeas Bogor. Almahrum di kebumikan hari itu juga usai sholat ashar di pemakaman umum Cikeas.

Tak lama kabar sms dari Baharuddin Saputra singgah di hape penulis, selang beberapa menit kemudian kabar yang sama lewat sms kembali berdering. Innalillah....Rekan Barani Nasution tidak sekedar teman dalam berkesenian, tapi beliau juga adalah seorang “guru”, aktor, sutradara dan penulis naskah yang handal. Bila ia bicara, lidahnya yang masih kental dengan aksen Mandailingnya walau ia cukup lama bermukim di Jogya, ia juga dapat berbahasa Jawa walau tidak fasih benar. Bahasa Inggeris sangat ia kuasai. Bersama beberapa teman seniman, beliau sempat membuka semacam club diskusi berbahasa Inggeris di Taman Budaya Sumatera Utara sekitar tahun 1990-an.

Kini ia telah tiada. Yang terbayang di benak penulis adalah wajahnya yang di tumbuhi berewok tebal yang telah memutih. Tubuhnya yang kecil, nada suaranya yang berat, kulitnya yang sawo mateng, sekilas ia tampak seperti saudara kita asal dari Kampung Keling. Barangkali karena kemiripannya itu jugalah sutradara Muchtar memberinya peran sebagai sais kereta lembu keturunan keling dalam film Buaya Deli yang di produksi sekitar tahun 1970-an.

Barani Nasution penulis kenal di pertengahan tahun 1969 saat usai pementasan naskah “ Yang Di Dalam “ karya dan Sutradara Burhan Piling di Gedung Kesenian Jalan Bali Medan, sosok laki-laki berewok yang tak pernah terlihat hadir di Gedung Kesenian Medan, dengan bicaranya yang lantang, sistematis, tampil dengan bahasa yang lugas membahas pertunjukan, dan tampilnya sosok asing yang di damping Surya Darma Lubis ( alm) itu membuat hampir semua mata peserta diskusi tertuju kepadanya. Laki-laki berewok yang bertubuh kecil itu adalah Barani Nasution, salah seorang anggota teater Bengkel Jogya Pimpinan WS. Rendra. Pantas saja bicaranya begitu lantang dan sangat berkesan. Usai diskusi perkenalan semakin akrab dan omong-omong non formal dilanjutkan sambil santap malam di warung siang malam di simpang Jalan Bali dan Jalan Thamrin.

Bincang-bincang dengan Barani Nasution yang wajahnya ditebali dengan jambang yang subur itu, terkesan ia memang sarat dengan ilmu tentang seni. Tidak heran di awal perkenalan kami di Gedung Kesenian usai pementasan, keakraban berlanjut dengan perencanaan untuk mementaskan “ Kasidah Barzanzi” yang telah di gelar Bengkel Teater Rendra di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sayang. Izin untuk mementaskan tak didapat dari WS. Rendra. Bersama Teater Nasional Medan akhirnya Barani Nasution dengan keseluruhan pemain direkrut dari Teater Nasional Medan secara profesional, pementasan “ MYM” di gelar di Gedung Olah Raga Jalan Veteran Medan selama dua malam berturut-turut dengan menurunkan pemain sekitar lima puluh orang. Sejak itu, nama Barani Nasution yang lahir di Siabu Tapsel 27 Juli 1941 mulai berkibar sebagai seniman teater Sumatera Utara. Pengalaman berteaternya sejak di bangku sekolah menengah atas di tahun 1959 sebagaio pemain di kota kelahirannya. Tahun 1963 ia mulai memberanikan diri bertindak sebagai Sutradara dalam naskah Mutinggo Busye yang berjudul “ Barabah” bersama grup teater Nauli yang ia dirikan ahun 1963.

Selepas mementaskan MYM di Gedung Olah Raga Medan, Barani Nasution mendirikan grup Teater Dionysus tahun 1970. Entah mengapa, dua tahun kemudian Barani Nasution kembali membentuki grup teater yang ia beri nama “ Teater Nuansa Medan“ dan banyak mementaskan naskah-naskah kaliber dunia dan naskah beliau sendiri di pentas arena Tapian daya Medan dan Gedung Utama Taman Budaya Medan di sekitar tahun 70-an dan 80-an.

Ia juga menerjemahkan drama-drama asing ke dalam bahasa Indonesia, beberapa diantaranya Medea, Aluetis, Theree Sisters, Orang-orang Resah, Dua Belas Pemberang, dan juga menerjemahkan buku-buku pelajaran Teater karya Stanis Lavsky dan Oscar J.Brockett.

Pensiun dari Pegawai Bidang Kesenian Sumatera Utara, Barani Nasution hijrah ke Jakarta. Di beberapa senetron arahan Khairul Umam yang pernah tayang di beberapa stasiun televisi, Barani Nasution berkesempatan tampil sebagai pemain pembantu.

Kini Barani Nasution telah tiada. Tidak saja anak dan isteri serta cucunya yang kehilangan, tapi semua rekan seniman yang yang ada di Taman Budaya, yang terlanjur akrab dengan sosok yang pernah menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan Drama di IKIP Medan sejak tahun 1985 sampai dengan 1991, telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Hanya doa yang pas untuknya, moga ia mendapat tempat yang layak di sisiNya. Amin.