Kamis, 19 Juni 2008

PUISI

HAYATKU
Sri Maryati Khairunnisa

sahabatku
andai saja waktu
bisa kuputar
kembali, kuingin
mengulang
masa-masa kita
bersama dulu
terima kasih sahabatku
atas kebaikan yang
telah kau berikan dulu

natal 2008

Senin, 16 Juni 2008

KENANGAN ANAK-ANAK IMAGO 1982 s/d 1988

Baharuddin Saputra & Iskandar Zulkarnaen dalam lakon ' NYANYIAN ANGSA' DI tbsu Medan. 1986.
1982 Bersama Darwis Rifai Harahap ( kanan) & Adi Fala (dua dari kiri ) Latihan Alam ke Pusuk Buhit - sekitar 5 KM dari Pangururan, Pulau Samosir.
Inilah anak-anak Teater Imago generasi 80-an. Kiri-ke kanan, Ayub Badrin, Ahmad Mei Rizal Soetomo, Nirmansyah Daulay, Khairil Azwar, Junaidi, Anto Doang, Roy, yang tiga lagi luipa namanya. Tolong informasikan bila ada rekan se-generasi yang ingat.

Upacara akad nikah Darwis Rifai Harahap & Erlina Rosa. 9 April 1999. (foto: Baharuddin.S)

Jumat, 13 Juni 2008

NAZARA MENANG LOMBA CERPEN

Nazara, murid kelas 8 SMPN 2 Tapteng berhasil menyisihkan 11 penulis muda berbakat dari utusan Kab/kota se-Sumatera Utara di Gedung PBSI Medan . Dewan juri yang terdiri dari Hasan Albana, S. Ratman Surat dan Darwis Rifai Harahap, sepuh seni teater Medan yang masih mampu bertahan di usianya yang sudah senja ( 64 Thn ) , menyatakan Nazara dari Tapteng, adalah penulis berbakat, lewat cerpennya yang berjudul ' Berkat Guru Bk'. Ke tiga juri serempak memuji karya gadis kecil yang pendiam yang bernama Nazara, walau sebenarnya karya pelajar yang lain bagus-bagus semua. Namun karena hanya ada satu utusan yang akan ikut berlomba di tingkat nasional, pada tanggal 21 Juli 2008 mendatang di Bandung, Pak Rifai Harahap yakin, karya Nazara si gadis kecil asal Nias ini mampu mengangkat Sumut ke peringkat yang dapat dibaggakan nantinya. Begitu yakinnya Oppung D. Rifai Harahap dengan karya Nazara . (Erlina Rosa)

Rabu, 11 Juni 2008

PUISI

AHH
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

dibalik cakrawala
rembulan
bercumbu dengan
matahari

melukis sepi diranjang kabut
entah dimana gelisah
ditambatkan,
pendataran tak lagi
hijau seperti dulu


Bogor, 2008

Minggu, 08 Juni 2008

BIKIN FILM

AKU PUNYA TEMAN INGIN BIKIN FILM
oleh. rizal siregar
Aku punya teman yang punya keinginan membikin film. Yondik Tanto dan Taufiq HR Zen Alnezaf. Keduanya tetap bersemangat membikin film. Biar dana produksi belum terlihat jelas, namun semangat keduanya tak pernah pudar untuk berkarya lewat layar lebar, membuatku tertekun. Aku salut dengan semangat keduanya.
Yondik berniat membikin film bergenre horor yang kisahnya diambil dari peristiwa di Sumatera Utara. Taufik berencana membikin film tentang renungan agamais. Keduanya mengusung genre yang berbeda
Yondik berkeyakinan karyanya menjadi milik anak Medan (daerah) yang bisa menembus pasaran nasional. Taufik yang kini berdomisili di Bogor, memilih memproduksi film yang direncanakannya dengan gaya Jakarta. Aku tak berani lancang untuk mengungkapkan judul film yang rencanakan keduanya.
Aku juga sedih melihat semangat mereka yang terus berkobar. Sedih karena aku tak bisa membantu secara finansial. Aku belum mempunyai kapital yang bisa mewujudkan impian kedua temanku itu. Biar aku tak bisa membantu finansil, tapi aku selalu mendorong semangat keduanya untuk tetap meyakini apa yang diimpikan; membikin layar lebar. Dengan memberikan masukan dan doa tentunya.
Masuk akalkan impian Yondik dan Taufik, untuk “bermain-main” didunia perfilman yang “gelap gulita” itu? Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam membikin film. Gelap karena tak ada pegangan yang jelas dalam peredaraan yang kini masih dikuasai bioskop kelompok 21. Gelap karena pasca produsi harus dikerjakan di luar negeri, Thailand, Hongkong atau India.Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam merekrut karyawan film. Gelap karena ‘kekuasaan” perfilman masih dikuasi Jakarta.
Dalam kondisi sekarang ini, impian keduanya masih masuk akalku. Selama 18 tahun lebih bergelut dalam dunia perfilman, sebagai wartawan film, kondisi sekarang ini, disaat penonton rindu film nasional, impian Yondik dan Taufik bisa diwujudkan.
Nasib kedua sahabatku itu saja yang tak datang dari keluarga kapital yang mapan. Sutradara Rizal Mantovani dan Jose Purnomo ketika membikin film Jelangkung, juga masih bereksprimen dalam tema dan gaya bertutur. Beruntung Trans TV bersedia mengucurkan dana untuk gagasan kedua anak muda itu. Secara kwalitas gambar dan materi cerita, film Jelangkung, tak luar biasa. Bahkan tidak berkwalitas. Film Jelangkung menjadi luar biasa ketika diserbu remaja. Bisa jadi Rizal Mantovani dan Jose Purnomo muncul dengan kondisi yang tepat dan yang paling penting ada keberanian pemilik modal untuk mengusung gagasan kedua anak itu.
Begitu juga dengan sutradara Rudi Soedjarwo sebelum melambung dengan film Ada Apa Dengan Cinta Rudi menapaki perfilman nasional dengan tersok-seok. Anak putra mantan Kapolri ini memulai debutnya dengan film Bintang Jatuh, film Rudi Soedjarwo ini tak banyak dikenal masyarakat.Film Bintang Jatuh yang diproduksinya masih memanfaatkan video. Lewat film Bintang Jatuh itu Dian Sasrowardoyo mengawali karirnya dalam seni peran. Kondisi perbioskopan yang caruk marut dan penonton setia film nasional masih enggan datang ke bioskop, membuat Rudi Soedjarwo tak punya nyali untuk mencetaknya ke seluloid. Tapi Rudi kuekue dengan pendiriannya, filmnya pun diedarkannya sendiri dengan menyewa beberapa auditorium di Jakarta, kampus-kampus di santero Jawa. Filmnya dibawanya keliling sendiri
Setapak demi setapak perfilman nasional bangkit. Sampai tahun 2008 ini, perfilman nasional sudah berada di puncak, bulan Maret, April dan Mei, seluruh panggung bioskop Jakarta dikuasai film nasional. Inilah buah dari reformasi. Runtuhnya Orde Baru membikin kelompok bioskop kelompok 21 lebih toleran terhadap perfilman nasional.
Mulai dari konsep, peredaran dan pemilik modal atau produser perfilman nasional adalah orang-orang pemilik kapital yang kuat. Lihat saja dunia pertelevisian kita, pemiliknya adalah memiliki kapital yang kuat. Sakin kuatnya, bisa membeli beberapa Stasiun TV yang kembang-kempis. Akhirnya, sang pemilik kapital menguasai “permianan” dan menitip dananya kepada Rumah Produksi tertentu. Walhasil, pemilik modal yang tak kuat seperti H. Alfadin dengan Kadasih-nya, Darto Joned dengan Serumpun Bambu-nya, atau Ali Sahab pun terkubur dibantai kapital yang kuat. Di medio tahun 2008 ini, pertelevisian dikuasi hanya Rumah Produksi yang kuat; yang bisa dibayar setelah 10 atau 20 episode penayangan. Wajah sinetron yang ditayangkan di TV tak lain hanya menjual mimpi yang juah dari jangkauan masyarakat kebanyakan.
Sineas muda adalah para anak muda yang orang tuanya memiliki kapital. Seniman yang berasal dari Gelang Remaja, seperti Nasry Cheppy yang berasal dari Gelang Remaja Jakarta Barat, Anak Teater, seperti Imam Tantowi berasal dari Teater di Tegal, atau wartawan seperti Mardali Syarief dan beberapa sutradara senior lainnya terkubur oleh anak yang memiliki latar belakang kapital yang kuat. Beruntung, Deddy Mizwar berhasil “menjual” tokoh Naga Bonar-nya H. Asrul Sani, dalam film Naga Bonar Jadi 2. Jika tak ada film Naga Bonar Jadi 2 atau film Ayat Ayat Cinta garapannya Hanung Bramantyo maka wajah perfilman nasional akan dikuasi oleh hantu-hatu, cinta remaja atau komedi seks.
Ah, aku sudah gelantur jauh. Impian Yondik dan Taufik masih di atas kertas, masih dalam skenario. Tiap malam, selalu saja aku dan Bung Taufik membicarakan tentang rencana produksi filmnya itu. Sebuah film renungan. Tidak seperti film Mangaku Rasul. Aku katakan kepada Bung Taufik, dengan menyetir ucapakan Bung Karno; "Raihlah Apinya Islam, Jangan Ambil Debunya Islam". Banyak film yang mengambil debunya Islam, Taufik begitu berkobar ketika kukatan itu. Taufik masih yakin skenario yang ditulisnya sendiri akan disutradarainya sendiri itu bisa bicara banyak. Masih adakah pemilik kapital yang percaya dengan konsep Taufik, membikin film renungan tapi mempunyai nilai komersil?
Dari sekian banyak teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital yang kuat, hanya satu-dua orang yang merespon konsepnya Yondik Tanto dan Taufik. Banyak teman yang sudah memiliki kapital yang kuat lebih memilih berkawan dengan sesama pemilik kapital. Teman-teman yang dulu berkenalan karena sama menggeluti kerja seni di Kota Medan tak satu pun memberikan respon yang postif. Bung Taufik berulang mengirim SMS kepada teman yang sempat didaulat memengang pucuk pimpinan dikarirnya, namun SMS tak menjawab. Pun ketika Bung Taufik kebetulan berkumpul dengan teman-teman yang katanya ingin “menepung tawari” sang gubernur yang menang Pilkada itu, tak satupun merespon. Teman-teman yang semuanya berasal dari kota Medan, dan berkenalan karena sama-sama penggiat seni, hanyut dengan eforia kemenangan sang jagoan Pilkada. Takkan ada berada tembuak bersarang rendah.
Yondik terus bergairah dengan konsepnya membikin film tentang cerita horor yang “roh” ceritanya berasal dari Tapanuli itu. Secara teori produksi dan konsep visual film sudah penuh di benaknya. Aku tetap meyakinkannya, Insya Allah, akan ada yang memodalinya. Yondik dan Taufik sedang menunggu godot. Yondik menunggunya dari Taman Budaya Sumatera Utara, yang memang disana dia mangkal sebagai seniman dan pekerja seni. Sementara Taufik menunggu diantara doa-doa-nya di Cilebut, Bogor sembari melakukan loby-loby dengan teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital.

Pesing Koneng, 8Juni 2008


Kamis, 05 Juni 2008

PUISI

Rantau
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Entah dimana takdir sembunyi
dulu ada hasrat mencari
merantau dari detik kemenit
memanjat langit
menyelam keperut bumi
sekarang hasrat itupun
sembunyi diketik waktu,
bukan pasrah mencari
biarlah takdir datang mencari pasangannya…


Bogor, 2008

TENTANG AYUB BADRIN

YANG SELALU GELISAH
AYUB BADRIN dikenal sebagai seniman teater di Kota Medan. Aktor kelahiran Medan, 25 Maret 1966 ini mengenal seni peran sejak masih SMP, ketika ia direkrut dari ratusan pelajar Se-kota Medan untuk dilatih main drama oleh Taman Budaya Medan asuhan D Rivai Harahap tahun 1980. Ketika itu Ayub masih duduk dibangku SMP Kelas II di SMP Neg. 12 Medan.
Bakat seni anak bungsu dari 9 bersaudara ini tumbuh darah seni mengalir dari ayahnya A. Djoremi, seorang aktor ketoprak di zaman penjajahan Belanda. Bakat seni Ayub sudah tumbuh sejak masih kanak-kanak. Sebelum mendengar dongeng dari neneknya Ayub tidak akan bisa terlelap.
“Banyak dongeng yang menarik diceritakan nenek sebelum tidur. Indah sekali waktu itu. Ada cerita Asal Muasal Kera, 3 Pendekar Budiman, dan beberapa cerita yang menarik. Sekarang dongeng jarang didogengkan. Anak-anak sudah menjadikan TV menjadi orang tua kedua mereka. Cukup memperihatinkan,” kata Ayub dengan tarikan nafas panjang.
Setelah “dipoles” Darwis Rifai Harahap, cakrawala seni pun mulai terkuak pada sosok Ayub, apalagi sosok aktor murah senyum ini doyan ngobrol dengan para seniornya di Teater Imago maupun Teater Nasional Medan. Tak jarang Ayub pulang larut malam, bahkan pulang pagi untuk ngobrol kesenian dengan teman-teman teater di Taman Budaya Medan.
Bersama seniornya di Teater Nasional Medan, Ayub sering terlibat perbincangan "panas" tentang kesenian dengan seniornya. Seperti Yan Amarni Lubis, Burhan Volka, Kuntara DM, Buyung Bizard, Rusnani Lubis, Burhan Piliang, Varah Tampubolon, Buoy Hardjo dan tak ketinggalan guru yang membesarkan Ayub; D Rivai Harahap.
Ayub juga doyan menari. Untuk melatih “kelentikan” tanggannya, sempat berlenggak-lenggok di Study Tari Patria. Bahkan bersama Syarial F sempat membuat Kelompok Tari. Dikancah teater Ayub sempat membawakan reportoar Malas, karya Nano Riantiarno, garapan sutradara MY Teddy Witarta, Tok.Tik.Tok (Dibalik Palu Godam) Karya Ikranegara sutradara Burhan Piliang, Serikat Kaca Mata Hitam Karya Saini KM garapan sutradara Hafis Taadi Teater Que Medan, Jangan Katakan Aku Cantik Karya Yukio Mishima garapan Sutradara Buoy Hardjo.
Tahun 1990 Ayub hijrah ke Lombok Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di kota Mataram Ayub bergabung dengan seniman lokal. Bahkan Ayub sempat menjadi “api” dalam menggairahkan suasana teater di Kota Mataram bersama Teater Lho dan Bengkel Aktor Mataram (BAM). Terpilih sebagai pemain utama pada Naskah Matinya Demung Sandubaya Karya Max Arifin garapan sutradara Kongso Sukoco tampil dalam Temu Teater di Solo Tahun 1993. Kemudian juga dipercayakan menjadi peran utama antagonis dalam naskah Rampok, saduran Idris Pulungan dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Mataram (TBM) Lombok Barat.
Setelah empat tahun berada di Mataram, Ayub tahun 1994 kembali berkiprah di Medan. Motivasi Ayub “pulang kampung” karena ibunya meninggal dunia. Setelah pulang Ayub tak kembali lagi ke Mataram untuk berkesenian. Ayub pun “berlabuh” kembali di Taman Budaya Sumatera Utara. Selain menjadi aktor, Ayub menggeluti dunia jurnalistik selain menjadi penulis lepas di berbagai media cetak di Medan.
Banyak Cerpen, Cerita Anak, Dongeng, artikel budaya, profil seniman dan lain-lain yang ditulisnya di koran seperti, Analisa , Waspada, Bali Post, Riau Post dan Majalah Malaysia Pesona. Kini Ayub juga menulis puisi. “Membikin puisi aku pikir pekerjaan paling sulit,” kata Ayub. Dalam kreatifitas kesenian Ayub selalu gelisah.

Rabu, 04 Juni 2008

ADEXINAL DAN AYUB BADRIN NASI BUNGKUS PUN JADI


Semangat berteater pada diri Bahar Adexinal dan Ayub Badrin ditahun 80-an cukup berkobar. Sebelum latihan, di sebuah pojok Taman Budaya Sumatera Utara keduanya kenyangkan tembolok dulu. Setidak-tidaknya waktu berlatih tak gemetar.

FOTO KENANGAN ANAK IMAGO DENGAN BUOY HARDJO


Tiga Anak Teater Imago Medan, Ayub Badrin, Bahar Adexinal dan Irma Karyono punya kenangan terindah dengan senior mereka dari Teater Nasional Medan yakni Alm. Buoy Hardjo. Ketika itu api berteater masih bergelora pada ketiga anak muda dari Teater Imago itu. Malam itu mereka sengaja nginap di rumah Buoy Haardjo (tidur sebelah kiri), saat itu senior dan junior sedang menyusun proposal. Coba tebak saja kira-kira tahunnya, karena menuangkan proposal masih menggunakan mesin tik.

Selasa, 03 Juni 2008

FOTO KENANGAN PEMENTASAN MALAS


Anak-anak Teater Imago berfoto beberapa menit sebelum pementasan repotoar Malas Karya N. Riantiarno di Auditorium Taman Budaya Sumatera Utara. Mereka adalah Ayub Badrin, Bahar Adexinal, Syahrial, Teddy Witarta (M.Yamin), Sofie Saca dan lain-lain.

AYUB BERFOTO DENGAN TEMAN TEATER MEDAN


Ayub punya kenangan main Teater di kota Mataram, Nusa Tengara Barat. Waktu itu Ayub bertemu dengan anak-anak Teater Medan. Ayub dua tahun berada di ujung Timur Indonesia itu. Waktu itu Ayub yang menjadi kontingen NTB bertemu dengan anak-anak Teater kontingen Sumatera Utar, seperti D. Rifai Harahap, Yan Amarni Lubis, Yondik Tanto dan Rizal Siregar (waktu itu masih wartawan Majalah Film Jakarta). Foto yang lagi belagak di belakang adalah Ayub Badrin dan Yan Amarni Lubis ketika di SOLO dalam acara Pertemuan Teater Solo 1993. Saat itu Ayub Badrin bersama anak Teater Bengkel Aktor Mataram, NTB.

AYUB MENIKAH DIAPIT DUA TOKOH TEATER MEDAN


Foto Ayub Badrin saat menikah, bersama tokoh teater Kartupat Medan, Alm. Raswin Hasibuan dan Alm. Aida Mahmun.

PUISI

Buta Tak Buta
Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Ikan tak tahu Air
Harimau tak tahu Tanah
Rajawali tak tahu Angin
segala Wujud yang tahu
Api bersembunyi di dalam Air,
Tanah dan Angin

Bogor, 2008

Senin, 02 Juni 2008

GELI KALI AH...

Asal Muasal Break Dance

Oleh: Dahri Uhum
Diceritakan ulang: rizal siregar

Suatu hari disaat ngumpul di Teater Terbuka Taman Budaya Medan
Dahari Uhum berkata, “Tahukan kalian tentag asal muasal Break Dance?”
Anak-anak teater menggelengkan kepalanya, seraya berkata;
“Tak tahu bang…!”
Bang Dahri berkara, sembari tertawa,
“Break Dance, itu berasal dari Sumatera Barat”
“Bagaimana bisa bang? Itukan tarian anak muda di Amerika,” kata anak teater
“Inilah kalian bodoh kali. Mau kali dibodoh-bodohi orang Amerika. Tarian itu
berasal dari Sumatera Barat! Inilah kalian tak tahu tentang budaya nusantara!”
Semua anak teater yang sedang ngumpul saling pandang.

Dengan mata melotot Bang Dahri berkata:
“Waktu berak di sungai, urang awak itu berjejer. Karena menghindari beraknya sendiri, ia berkata, ‘berak den! Berak den! Awas berak den...!”
Semua anak teater semakin penasaran.
“Saat urak awak itu berak bergoyang-goyang menghidari kotoran, sempat dilihat seniman tari

yang lalu mendapat inspiarsi membuat tarian berak den! Sampai ke Amerika menjadi break dance!” kata Bang Dahari dengan gelak.
Anak-anak teater pun jadi tertawa terbahak-bahak.

PUISI

Oleh: Taufiq HR Zen Alnezaf

Gelugu

Dukacita bumi
dukacita dirampok
sepi berabad lalu
jutaan airmata
bukan embun
pedataran waktu
apalagi yang bisa
dicopet dari laut
sedang perahu
sekarat ditikam matahari

Topeng

Badut-badut
bicara dosa-pahala
bicara surga
neraka bicara
untung rugi
mereka tak bicara
kekasih yang terkasih,
mereka hisap madat,
memuja diri
mencari kesucian

Purdah

Selamat datang
derita anak negeri,
ceritamu patahkan
tiang kelambu langit,
usaikan tangismu,
jangan biarkan mata
menyipit kelu,
menanggung sisa
nafas untuk esok

Bogor, 2008