Kamis, 29 Mei 2008

PUISI

Rekontruksi Cinta Yanti
Puisi Ayub Badrin

Beribu-ribu mahluk menidurimu
Hingga kau hamil
Anakmu adalah televisi
Yang menyiarkan sinetron cinta murahan

Aku tak mau lagi memeluk gelombang laut itu
Sebab menyeretku pada dusta yang teramat palsu

Di kain jarik darah lengket
Rekontruksi cintamu Yanti

Masihkah televisi menyimpan aku
Seperti ikan dalam kulkas
Setiap pembunuhan dianggap sah?

Ini memang negri para pembunuh!

Lihatlah anakmu itu
Kini berwajah televisi
Dimatanya menyiarkan iklan dan
Mimpi-mimpi bersama Doraemon

Siapa berperan dirimu itu?
Merekontruksi pembunuhan aku

Tapi aku belum mati
Aku akan kembali bersujud sambil mengeja
Alif, ba, ta, sya, zim, ha, ho, dal...
Meski lidahku kelu

Simpang Limun, 3 September 2007

Rekontruksi Kamar Mandi
Puisi: Ayub Badrin

Suatu hari aku mengantuk
Uaaaahhhhhhh
Bau mulutku menidurkanmu
Lalu aku masuk ke ruang hampa dalam tidurmu
Kutemukan kau manggut-manggut
Berabat-abat lamanya
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Terus sampai lumut menutupi gigimu
Dikamar mandi sabun habis

Medan , 1 September 2007


Pembunuhan Di Kamar Tidur
Puisi: Ayub Badrin

Tiba-tiba kau datang dengan pisau
Membawa kenangan hujan
Lalu menikam diriku bertubi-tubi
Aku terkapar di lantai hatimu
Mengerang kesakitan
Perihku perih pisau
Lukaku luka sembilu

Mengapa berabad lamanya
Aku tersiksa oleh cinta

Di kamar tidur
Di sebelahku istri dan anak-anakku
Yang suka tidur sampai siang
Ini cinta milik siapa sebenarnya?
Mengapa tak jua bersumpah
(Sementara hujan turun masih karena cinta)

Tak usahlah dihapus darah itu
Biar saja mengering
Agar pernah ada kamu
Meski tak mudah jua

Medan, 2 September 2007

Rekontruksi Cinta Yanti
Puisi: Ayub Badrin

Beribu-ribu mahluk menidurimu
Hingga kau hamil
Anakmu adalah televisi
Yang menyiarkan sinetron cinta murahan

Aku tak mau lagi memeluk gelombang laut itu
Sebab menyeretku pada dusta yang teramat palsu

Di kain jarik darah lengket
Rekontruksi cintamu Yanti

Masihkah televisi menyimpan aku
Seperti ikan dalam kulkas
Setiap pembunuhan dianggap sah?

Ini memang negri para pembunuh!

Lihatlah anakmu itu
Kini berwajah televisi
Dimatanya menyiarkan iklan dan
Mimpi-mimpi bersama Doraemon

Siapa berperan dirimu itu?
Merekontruksi pembunuhan aku

Tapi aku belum mati
Aku akan kembali bersujud sambil mengeja
Alif, ba, ta, sya, zim, ha, ho, dal
Meski lidahku kelu

Simpang Limun, 3 September 2007

PUISI

AYUB JADI PENYAIR

Kukenal Ayub bukan penyair
kukenal Ayub sebagai sahabat
bila Ayub jadi penyair;
dia sudah pandai merangkai kata sejuta makna

Ayub jadi penyair
tapi aku tak bisa menuangkan kata dalam juta makna
apakah semua persitiwa kehidupan
mesti dituangkan dalam puisi?

Ah, aku pernah menulis puisi
membacanya berulang-ulang
itu pun tak becus
itu sebabnya aku tak mau jadi penyair
katanya; penyair dekat dengan setan

Ayub jadi penyair
dia memasuki dunia kata
bermain-main dengan kata
atau telah bercinta dengan kata?
tapi Yub, jangan tuankan kata
kata adalah kata, dia tak berkata-kata

Ayub jadi penyair
teman-teman yang membikin antologi
sudah jadi penyair Yub
mereka penyair dunia Yub

Ayub jadi penyair
tuliskan puisi yang membikin sejuk
atau tuangkan dengan kata; keagungan Tuhan
biar kata bisa menembus
ruang dan waktu
jadikan renungan dan bukan impian

Ayub jadi penyair
aku bukan penyair



Jakarta Barat, 28 Mei 2008

rizal siregar

PUISI

Rekontruksi Kamar Mandi
Puisi: Ayub Badrin

Suatu hari aku mengantuk
Uaaaahhhhhhh
Bau mulutku menidurkanmu
Lalu aku masuk ke ruang hampa dalam tidurmu
Kutemukan kau manggut-manggut
Berabat-abat lamanya
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Manggut-manggut
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Geleng-geleng
Terus sampai lumut menutupi gigimu
Dikamar mandi sabun habis


Medan , 1 September 2007

Rabu, 28 Mei 2008

Surat Budaya Untuk Dahri Uhum Dan Abdiallah



Oleh. Darwis Rifai Harahap

SAHABATKU, aku baca di suratkabar tentang anda yang tak jadi menunaikan rukun Islam ke lima dari seorang teman, dikarenakan sebelum waktu keberangkatan, tiba-tiba anda dijemput oleh petugas, untuk ‘disekolahkan’ beberapa tahun. Dahri Uhum Nasution, seniman dan juga wartawan dan Pemimpin Redaksi dan Penjab di salah satu surat kabar oleh pengadilan telah diputuskan harus menjalani dan harus rela untuk tidak berangkat ke tanah suci (semua ini taqdir yang datang dari Allah ) dikarenakan berita “korupsi”. Kini, sohib yang bernama Dahri Uhum Nasution itu, untuk kedua kalinya menimba dan belajar dari balik jeruji besi.
Pengalaman pertama Dahri mendekam di tahanan, sewaktu dia masih remaja, sekitar tahun 70-an, bersama empat orang muda dari Teater Nasional Medan.Dia ditangkap dikarenakan berani demonstrasi menentang kebijakan Pemerintah Orde Baru waktu itu. Walau cuma sebulan ditahan, pengalaman berada di balik jeruji selama sebulan itu, membuat Dahri tabah dan sabar menerima semua cobaan yang kini tengah dihadapinya. Dahri Uhum Nasution ‘disekolahkan’ karena keberaniannya mengungkapkan tentang adanya ‘korupsi’ di negeri ini.
Dan, kasus ini juga yang menggelindingkan seorang rekan yang dulu pernah bermain bersama Dahri Uhum Nasution sebagai seorang Letnan Knil dalam lakon ‘Jiwa Tanah Air’ adaptasi Djohan Nasution dari naskah Monserat. Teman kita itu adalah orang nomor satu Medan, Bang Abdillah. Beliau kini juga sedang ditahan dikarenakan sebagai ‘tersangka’ korupsi mark up mobil pemadam kebakaran.Dahri disekolahkan karena memberitakan adanya ‘korupsi’. Bang Abdillah sebagai tersangka.
Tersangka belum final. Hanya pengadilan nanti yang dapat membuktikan. Pertanyaannya: apa sebenarnya yang menarik dari dua kasus yang tengah berlangsung terhadap diri sohib Dahri Uhum Nasution dan Bang Abdillah yang mengundang banyak simpati dari warga Medan agar beliau jangan ditahan di Jakarta?
Hal ini tidak lain karena warga Medan masih sangat membutuhkan Drs. Abdillah sebagai pemimpin di Kota Medan. Walau beliau di Jakarta, ternyata dari seorang teman yang berhasil menjenguknya di ruang Polda Jakarta, kunjungan simpatisan ternyata tak pernah sepi. Beda dengan sohib Dahri Uhum Nasution, selama beliau di asrama, baru beberapa teman yang datang menjenguknya. Tapi buat Dahri, selama di asrama menjadi kesempatan buatnya untuk memelihara kumis dan janggutnya yang semua telah memutih.
Orang yang berhasil untuk mengantarkan Dahri ke tempatnya yang sekarang, boleh tertawa gembira karena dia telah berhasil memenangkan perkaranya. Soal ada atau tidaknya korupsi, hanya Allah yang maha tahu. Mengenai adanya ‘mark up’? Tuhan tahu dan kita semua tahu itu ada. Kenapa harus ada mark up? Siapa-siapa saja sebenarnya yang ikut menanda tangani tanda setuju adanya mark up? Barangkali inilah kasus yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sebelum Drs. Abdillah menjadi walikota, mark up juga sudah ada. Ingat kasus Laptop? Dan banyak lagi kasus-kasus lain di negeri ini yang sulit untuk membuktikan apakah benar seseorang itu korupsi. Sekali lagi, hanya Tuhan yang Maha tahu. Tak satupun dari kita yang mempercayai adanya hari pemeriksaan dapat menghindar dan berbohong di pengadilan akhirat. Hidup ini ternyata sangat singkat sekali.
Tiga puluh lima tahun silam, saat Abdillah, Burhan Piliang (alm) Buoy Hardjo (alm), Buyung Bizart, Paul, Yusuf, Adnin(alm), Buyung Sabren(alm), Mariam, Dahri Uhum, Yan Amarni Lubis dan yang lainnya lagi serius-serius berlatih teater di Taman Budaya Medan, kini telah sirna bagai ditelan waktu yang terus berputar mengitari diri.
Saudaraku Dahri, aku kini sedang melihat album kenangan tentang kalian di kamarku yang sumpek. Aku memutar film delapan mili yang di dalamnya bermain pemuda Abdillah dan Ana Damanik, dan Abdul Aziz yang kini kabarnya menjadi pengacara di Bandung. Aku masih mebuat film-film eksprimen dan melatih teater di Taman Budaya. Aku masih menulis dan menulis. Sebenarnya aku sangat ingin mengunjungi kalian di ‘dunia’ yang mungkin terasa sempit dan sunyi. Tapi aku percaya, sebagai orang yang penuh dengan iman, kesunyian tak akan pernah menghantui kalian. Yang emas itu akan tetap emas walau ia dicampakkan ke dalam pelimbahan yang berlumpur hitam. Kita hanyalah manusia biasa.
Ada sohib yang diangkat Tuhan derajatnya selama hidup di dunia. Dan, ada yang dihinakannya. Ada yang rejekinya berlimpah ruah, Tidak hanya rejeki, tapi jabatan, pangkat, kehinaan, kemiskinan, ada didepan kita. Sahabatku Dahri, aku sangat percaya dan percaya sekali, walau teman-teman yang datang menjengukmu tidak semeriah orang yang datang menjenguk Drs. Abdillah, aku percaya, sekarang ini kau sudah semakin dekat dengan Allah walau kau tidak dapat berangkat menuanaikan rukun Islam yang kelima itu.
Percayalah. Ada rahasia yang hanya Allah yang tahu kenapa semua ini harus kalian hadapi. Aku juga juga ingin ke Jakarta untuk melihat adikku yang bernama Abdillah itu. Tapi yang pasti, aku sekarang ini masih tetap seperti yang dulu, 35 tahun silam, seorang pelatih teater di Taman Budaya Medan,Barangkali, aku sudahi saja surat budaya ini. Seberapa panjangpun aku menulis, kau dan Abdillah tak mungkin membacanya di tempat yang jauh sana. Tapi aku percaya, kalian berdua semakin mengerti dan paham, betapa singkat dan sempitnya dunia ini.

Darwis Rifai Harahap
Pendiri Teater Imago Medan Sutradara dan Penulis