Oleh. Darwis Rifai Harahap
SAHABATKU, aku baca di suratkabar tentang anda yang tak jadi menunaikan rukun Islam ke lima dari seorang teman, dikarenakan sebelum waktu keberangkatan, tiba-tiba anda dijemput oleh petugas, untuk ‘disekolahkan’ beberapa tahun. Dahri Uhum Nasution, seniman dan juga wartawan dan Pemimpin Redaksi dan Penjab di salah satu surat kabar oleh pengadilan telah diputuskan harus menjalani dan harus rela untuk tidak berangkat ke tanah suci (semua ini taqdir yang datang dari Allah ) dikarenakan berita “korupsi”. Kini, sohib yang bernama Dahri Uhum Nasution itu, untuk kedua kalinya menimba dan belajar dari balik jeruji besi.
Pengalaman pertama Dahri mendekam di tahanan, sewaktu dia masih remaja, sekitar tahun 70-an, bersama empat orang muda dari Teater Nasional Medan.Dia ditangkap dikarenakan berani demonstrasi menentang kebijakan Pemerintah Orde Baru waktu itu. Walau cuma sebulan ditahan, pengalaman berada di balik jeruji selama sebulan itu, membuat Dahri tabah dan sabar menerima semua cobaan yang kini tengah dihadapinya. Dahri Uhum Nasution ‘disekolahkan’ karena keberaniannya mengungkapkan tentang adanya ‘korupsi’ di negeri ini.
Dan, kasus ini juga yang menggelindingkan seorang rekan yang dulu pernah bermain bersama Dahri Uhum Nasution sebagai seorang Letnan Knil dalam lakon ‘Jiwa Tanah Air’ adaptasi Djohan Nasution dari naskah Monserat. Teman kita itu adalah orang nomor satu Medan, Bang Abdillah. Beliau kini juga sedang ditahan dikarenakan sebagai ‘tersangka’ korupsi mark up mobil pemadam kebakaran.Dahri disekolahkan karena memberitakan adanya ‘korupsi’. Bang Abdillah sebagai tersangka.
Tersangka belum final. Hanya pengadilan nanti yang dapat membuktikan. Pertanyaannya: apa sebenarnya yang menarik dari dua kasus yang tengah berlangsung terhadap diri sohib Dahri Uhum Nasution dan Bang Abdillah yang mengundang banyak simpati dari warga Medan agar beliau jangan ditahan di Jakarta?
Hal ini tidak lain karena warga Medan masih sangat membutuhkan Drs. Abdillah sebagai pemimpin di Kota Medan. Walau beliau di Jakarta, ternyata dari seorang teman yang berhasil menjenguknya di ruang Polda Jakarta, kunjungan simpatisan ternyata tak pernah sepi. Beda dengan sohib Dahri Uhum Nasution, selama beliau di asrama, baru beberapa teman yang datang menjenguknya. Tapi buat Dahri, selama di asrama menjadi kesempatan buatnya untuk memelihara kumis dan janggutnya yang semua telah memutih.
Orang yang berhasil untuk mengantarkan Dahri ke tempatnya yang sekarang, boleh tertawa gembira karena dia telah berhasil memenangkan perkaranya. Soal ada atau tidaknya korupsi, hanya Allah yang maha tahu. Mengenai adanya ‘mark up’? Tuhan tahu dan kita semua tahu itu ada. Kenapa harus ada mark up? Siapa-siapa saja sebenarnya yang ikut menanda tangani tanda setuju adanya mark up? Barangkali inilah kasus yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sebelum Drs. Abdillah menjadi walikota, mark up juga sudah ada. Ingat kasus Laptop? Dan banyak lagi kasus-kasus lain di negeri ini yang sulit untuk membuktikan apakah benar seseorang itu korupsi. Sekali lagi, hanya Tuhan yang Maha tahu. Tak satupun dari kita yang mempercayai adanya hari pemeriksaan dapat menghindar dan berbohong di pengadilan akhirat. Hidup ini ternyata sangat singkat sekali.
Tiga puluh lima tahun silam, saat Abdillah, Burhan Piliang (alm) Buoy Hardjo (alm), Buyung Bizart, Paul, Yusuf, Adnin(alm), Buyung Sabren(alm), Mariam, Dahri Uhum, Yan Amarni Lubis dan yang lainnya lagi serius-serius berlatih teater di Taman Budaya Medan, kini telah sirna bagai ditelan waktu yang terus berputar mengitari diri.
Saudaraku Dahri, aku kini sedang melihat album kenangan tentang kalian di kamarku yang sumpek. Aku memutar film delapan mili yang di dalamnya bermain pemuda Abdillah dan Ana Damanik, dan Abdul Aziz yang kini kabarnya menjadi pengacara di Bandung. Aku masih mebuat film-film eksprimen dan melatih teater di Taman Budaya. Aku masih menulis dan menulis. Sebenarnya aku sangat ingin mengunjungi kalian di ‘dunia’ yang mungkin terasa sempit dan sunyi. Tapi aku percaya, sebagai orang yang penuh dengan iman, kesunyian tak akan pernah menghantui kalian. Yang emas itu akan tetap emas walau ia dicampakkan ke dalam pelimbahan yang berlumpur hitam. Kita hanyalah manusia biasa.
Ada sohib yang diangkat Tuhan derajatnya selama hidup di dunia. Dan, ada yang dihinakannya. Ada yang rejekinya berlimpah ruah, Tidak hanya rejeki, tapi jabatan, pangkat, kehinaan, kemiskinan, ada didepan kita. Sahabatku Dahri, aku sangat percaya dan percaya sekali, walau teman-teman yang datang menjengukmu tidak semeriah orang yang datang menjenguk Drs. Abdillah, aku percaya, sekarang ini kau sudah semakin dekat dengan Allah walau kau tidak dapat berangkat menuanaikan rukun Islam yang kelima itu.
Percayalah. Ada rahasia yang hanya Allah yang tahu kenapa semua ini harus kalian hadapi. Aku juga juga ingin ke Jakarta untuk melihat adikku yang bernama Abdillah itu. Tapi yang pasti, aku sekarang ini masih tetap seperti yang dulu, 35 tahun silam, seorang pelatih teater di Taman Budaya Medan,Barangkali, aku sudahi saja surat budaya ini. Seberapa panjangpun aku menulis, kau dan Abdillah tak mungkin membacanya di tempat yang jauh sana. Tapi aku percaya, kalian berdua semakin mengerti dan paham, betapa singkat dan sempitnya dunia ini.
Darwis Rifai Harahap
Pendiri Teater Imago Medan Sutradara dan Penulis
Pendiri Teater Imago Medan Sutradara dan Penulis
2 komentar:
Tulisan Bang Darwis tentang dua sahabatntya membuat saya terharu. Abdiallah saya tak begitu kenal, saya hanya mengenalnya sebagai seorang Walikota. Tapi dengan Dahri Uhum Nasution, saya mengenal sosok seniman yang satu ini,selain Pendiri Teater Kita Medan, dia juga seorang aktor dan komedian yang mampu membikin sapa saja terbahak.
-rizal siregar
Membaca tulisan (bang)Darwis Rivai Harahap berjudul "Surat Budaya Untuk Dahri Uhum dan Abdillah" memang mengharukan. Betapa tidak, sebab ketiganya adalah orang yang sangat ku kenal.
(bang) D Rivai Harahap adalah guru teaterku semasa di Teater Imago dan sudah seperti bang kandung sendiri. Dahri Uhum adalah senioranku baik di dunia journalis maupun di teater. Sedangkan Abdillah meski dia tidak mengenalku tapi aku sering bertemu dengannya dalam tugas keseharianku sebagai seorang wartawan.
Sambil membaca surat tersebut, akupun terbayang masa-masa ketika aku mencoba menulis peristiwa yang (waktu itu aku lupa tahunnya)sedang dihadapi Dahri Uhum. Lelaki yang menghadapi hidup akrab dengan komedian ini, tengah tersandung kasus hukum. Dia digugat oleh Rektor IAIN Sumut setelah menulis kasus "korupsi". Akupun datang ke rumahnya untuk wawancara. Dahri Uhum waktu itu mengatakan kalau dirinya telah melakukan prosedur pemberitaan yang benar seperti diatur dalam UU Pers no 40 itu. Dia mewawancarai narasumbernya (beberapa mahasiswa IAIN) untuk mendapat keterangan soal kasus tersebut. Karena belum sempat bertemu dengan sang Rektor, Dahri memuat berita tersebut dengan menaruh kata "duga". Artinya berita tersebut masih diragukan kebenarannya, karena sang wartawan belum sempat konformasi dengan dengan orang yang diisukan telah melakukan tindak pidana hukum. Artinya dalam UU pokok Pers no 40 tahun '99, seorang yang merasa dirugikan di dalam satu pemberitaan masih diberi kesempatan untuk membuat hak jawab. Tapi Rektor IAIN waktu itu tidak menggunakan hak jawab tapi langsung menggunakan KUHP. Dia mengadukan Dahri Uhum ke Polisi.
Sayang dalam siding di pengadilan, hakim juga tak menggubris sedikitpun UU Pokok Pers yang sengaja dibuat untuk melindungi insan pers dari jeratan hukum pidana, karena sebuah tulisan (berita) bukanlah satu kejahatan kriminalitas.
Dan, (bang) Dahripun diponis 1 tahun setelah kalah di MA, usai naik banding beberpa waktu lalu.
Waktu itu aku telah memuat kisahnya di sebuah tabloid tempatku bekerja, "Gaya Medan" (kini sudah menjadi harian kriminal) satu halaman penuh. Sebab, aku menganggap kisah Dahri Uhum itu adalah potret para wartawan lain di negri ini yang selalu di (kalah)kan oleh suatu yang belum pasti dan mungkin tak pernah pasti. Tapi tak apalah itu sebuah perjuangan. Dan aku bangga punya senior seperti itu.
Sedang soal Abdillah, aku tak mau komentar..........
Posting Komentar