Minggu, 08 Juni 2008

BIKIN FILM

AKU PUNYA TEMAN INGIN BIKIN FILM
oleh. rizal siregar
Aku punya teman yang punya keinginan membikin film. Yondik Tanto dan Taufiq HR Zen Alnezaf. Keduanya tetap bersemangat membikin film. Biar dana produksi belum terlihat jelas, namun semangat keduanya tak pernah pudar untuk berkarya lewat layar lebar, membuatku tertekun. Aku salut dengan semangat keduanya.
Yondik berniat membikin film bergenre horor yang kisahnya diambil dari peristiwa di Sumatera Utara. Taufik berencana membikin film tentang renungan agamais. Keduanya mengusung genre yang berbeda
Yondik berkeyakinan karyanya menjadi milik anak Medan (daerah) yang bisa menembus pasaran nasional. Taufik yang kini berdomisili di Bogor, memilih memproduksi film yang direncanakannya dengan gaya Jakarta. Aku tak berani lancang untuk mengungkapkan judul film yang rencanakan keduanya.
Aku juga sedih melihat semangat mereka yang terus berkobar. Sedih karena aku tak bisa membantu secara finansial. Aku belum mempunyai kapital yang bisa mewujudkan impian kedua temanku itu. Biar aku tak bisa membantu finansil, tapi aku selalu mendorong semangat keduanya untuk tetap meyakini apa yang diimpikan; membikin layar lebar. Dengan memberikan masukan dan doa tentunya.
Masuk akalkan impian Yondik dan Taufik, untuk “bermain-main” didunia perfilman yang “gelap gulita” itu? Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam membikin film. Gelap karena tak ada pegangan yang jelas dalam peredaraan yang kini masih dikuasai bioskop kelompok 21. Gelap karena pasca produsi harus dikerjakan di luar negeri, Thailand, Hongkong atau India.Gelap karena tak ada aturan yang jelas dalam merekrut karyawan film. Gelap karena ‘kekuasaan” perfilman masih dikuasi Jakarta.
Dalam kondisi sekarang ini, impian keduanya masih masuk akalku. Selama 18 tahun lebih bergelut dalam dunia perfilman, sebagai wartawan film, kondisi sekarang ini, disaat penonton rindu film nasional, impian Yondik dan Taufik bisa diwujudkan.
Nasib kedua sahabatku itu saja yang tak datang dari keluarga kapital yang mapan. Sutradara Rizal Mantovani dan Jose Purnomo ketika membikin film Jelangkung, juga masih bereksprimen dalam tema dan gaya bertutur. Beruntung Trans TV bersedia mengucurkan dana untuk gagasan kedua anak muda itu. Secara kwalitas gambar dan materi cerita, film Jelangkung, tak luar biasa. Bahkan tidak berkwalitas. Film Jelangkung menjadi luar biasa ketika diserbu remaja. Bisa jadi Rizal Mantovani dan Jose Purnomo muncul dengan kondisi yang tepat dan yang paling penting ada keberanian pemilik modal untuk mengusung gagasan kedua anak itu.
Begitu juga dengan sutradara Rudi Soedjarwo sebelum melambung dengan film Ada Apa Dengan Cinta Rudi menapaki perfilman nasional dengan tersok-seok. Anak putra mantan Kapolri ini memulai debutnya dengan film Bintang Jatuh, film Rudi Soedjarwo ini tak banyak dikenal masyarakat.Film Bintang Jatuh yang diproduksinya masih memanfaatkan video. Lewat film Bintang Jatuh itu Dian Sasrowardoyo mengawali karirnya dalam seni peran. Kondisi perbioskopan yang caruk marut dan penonton setia film nasional masih enggan datang ke bioskop, membuat Rudi Soedjarwo tak punya nyali untuk mencetaknya ke seluloid. Tapi Rudi kuekue dengan pendiriannya, filmnya pun diedarkannya sendiri dengan menyewa beberapa auditorium di Jakarta, kampus-kampus di santero Jawa. Filmnya dibawanya keliling sendiri
Setapak demi setapak perfilman nasional bangkit. Sampai tahun 2008 ini, perfilman nasional sudah berada di puncak, bulan Maret, April dan Mei, seluruh panggung bioskop Jakarta dikuasai film nasional. Inilah buah dari reformasi. Runtuhnya Orde Baru membikin kelompok bioskop kelompok 21 lebih toleran terhadap perfilman nasional.
Mulai dari konsep, peredaran dan pemilik modal atau produser perfilman nasional adalah orang-orang pemilik kapital yang kuat. Lihat saja dunia pertelevisian kita, pemiliknya adalah memiliki kapital yang kuat. Sakin kuatnya, bisa membeli beberapa Stasiun TV yang kembang-kempis. Akhirnya, sang pemilik kapital menguasai “permianan” dan menitip dananya kepada Rumah Produksi tertentu. Walhasil, pemilik modal yang tak kuat seperti H. Alfadin dengan Kadasih-nya, Darto Joned dengan Serumpun Bambu-nya, atau Ali Sahab pun terkubur dibantai kapital yang kuat. Di medio tahun 2008 ini, pertelevisian dikuasi hanya Rumah Produksi yang kuat; yang bisa dibayar setelah 10 atau 20 episode penayangan. Wajah sinetron yang ditayangkan di TV tak lain hanya menjual mimpi yang juah dari jangkauan masyarakat kebanyakan.
Sineas muda adalah para anak muda yang orang tuanya memiliki kapital. Seniman yang berasal dari Gelang Remaja, seperti Nasry Cheppy yang berasal dari Gelang Remaja Jakarta Barat, Anak Teater, seperti Imam Tantowi berasal dari Teater di Tegal, atau wartawan seperti Mardali Syarief dan beberapa sutradara senior lainnya terkubur oleh anak yang memiliki latar belakang kapital yang kuat. Beruntung, Deddy Mizwar berhasil “menjual” tokoh Naga Bonar-nya H. Asrul Sani, dalam film Naga Bonar Jadi 2. Jika tak ada film Naga Bonar Jadi 2 atau film Ayat Ayat Cinta garapannya Hanung Bramantyo maka wajah perfilman nasional akan dikuasi oleh hantu-hatu, cinta remaja atau komedi seks.
Ah, aku sudah gelantur jauh. Impian Yondik dan Taufik masih di atas kertas, masih dalam skenario. Tiap malam, selalu saja aku dan Bung Taufik membicarakan tentang rencana produksi filmnya itu. Sebuah film renungan. Tidak seperti film Mangaku Rasul. Aku katakan kepada Bung Taufik, dengan menyetir ucapakan Bung Karno; "Raihlah Apinya Islam, Jangan Ambil Debunya Islam". Banyak film yang mengambil debunya Islam, Taufik begitu berkobar ketika kukatan itu. Taufik masih yakin skenario yang ditulisnya sendiri akan disutradarainya sendiri itu bisa bicara banyak. Masih adakah pemilik kapital yang percaya dengan konsep Taufik, membikin film renungan tapi mempunyai nilai komersil?
Dari sekian banyak teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital yang kuat, hanya satu-dua orang yang merespon konsepnya Yondik Tanto dan Taufik. Banyak teman yang sudah memiliki kapital yang kuat lebih memilih berkawan dengan sesama pemilik kapital. Teman-teman yang dulu berkenalan karena sama menggeluti kerja seni di Kota Medan tak satu pun memberikan respon yang postif. Bung Taufik berulang mengirim SMS kepada teman yang sempat didaulat memengang pucuk pimpinan dikarirnya, namun SMS tak menjawab. Pun ketika Bung Taufik kebetulan berkumpul dengan teman-teman yang katanya ingin “menepung tawari” sang gubernur yang menang Pilkada itu, tak satupun merespon. Teman-teman yang semuanya berasal dari kota Medan, dan berkenalan karena sama-sama penggiat seni, hanyut dengan eforia kemenangan sang jagoan Pilkada. Takkan ada berada tembuak bersarang rendah.
Yondik terus bergairah dengan konsepnya membikin film tentang cerita horor yang “roh” ceritanya berasal dari Tapanuli itu. Secara teori produksi dan konsep visual film sudah penuh di benaknya. Aku tetap meyakinkannya, Insya Allah, akan ada yang memodalinya. Yondik dan Taufik sedang menunggu godot. Yondik menunggunya dari Taman Budaya Sumatera Utara, yang memang disana dia mangkal sebagai seniman dan pekerja seni. Sementara Taufik menunggu diantara doa-doa-nya di Cilebut, Bogor sembari melakukan loby-loby dengan teman-teman yang berkawan dengan pemilik kapital.

Pesing Koneng, 8Juni 2008


Tidak ada komentar: